PERKEMBANGAN
STRATEGI DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
A. MACAM – MACAM
STRATEGI PEMBANGUNAN INDONESIA
Salah satu konsep
penting yang perlu diperhatikan dalam mempelajari perekonomian suatu negara
adalah mengetahui tentang strategi pembangunan ekonomi. Beberapa strategi
pembangunan ekonomi yang dapat disampaikan adalah :
1.
Strategi Pertumbuhan
Adapun inti dari konsep strategi yang
pertama ini adalah :
a) Strategi pembangunan
ekonomi suatu negara akan terpusat pada upaya pembentukan modal, serta
bagaimana menanamkannya secara seimbang, menyebar, terarah dan memusat,
sehingga dapat menimbulkan efek pertumbuhan ekonomi.
b) Selanjutnya bahwa
pertumbuhan ekonomi akan dinikmati oleh golongan lemah melalui proses merambat
ke bawah ( trickle – down – effect ) pendistribusian kembali.
c) Jika terjadi
ketimpangan atau ketidakmerataan hal tersebut merupakan syarat terciptanya
pertumbuhan ekonomi.
d) Kritik paling keras
dari strategi yang pertama ini adalah bahwa pada kenyataan yang terjadi adalah
ketimpangan yang semakin tajam.
2.
Strategi pembangunan
dengan pemerataan
Inti dari konsep strategi ini adalah
dengan ditekankannya peningkatan pembangunan melalui teknik sosial engineering,
seperti halnya melalui penyusunan perencanaan induk, dan paket program terpadu.
3.
Strategi
ketergantungan
Tidak sempurnanya konsep strategi
pertama dan kedua mendorong para ahli ekonomi mencari alternatif lain sehingga
pada tahun 1965 muncul strategi pembangunan dengan nama strategi ketergantungan.
Inti dari konsep strategi tergantungan adalah :
a) Kemiskinan di negara
– negara berkembang lebih disebabkan karena adanya ketergantungan negara
tersebut dari pihak / negara lainnya
b) Teori ketergantungan
ini kemudian dikritik oleh Kothari dengan mengatakan “Teori
ketergantungan tersebut memang cukup relevanm namun sayangnya telah mnjadi
semacam dalih terhadap kenyataan dari kurangnya usaha untuk membangun
masyarakat sendiri (Self Development)
4.
Strategi yang
berwawasan ruang
Strategi ini dikemukakan oleh Myrdall
dan Hirschman, yang mengemukakan sebab – sebab kurang mampunya daerah
miskin berkembang secepat daerah yang lebih kaya / maju.
Menurut mereka kurang mampunya daerah
miskin berkembang secepat daerah maju dikarenakan kemampuan / pengaruh menyetor
dari kaya ke miskin (Spread Effects) lebih kecil daripada terjadnya
aliran sumber daya dari daerah miskin ke daerah kaya (Back-wash-effects).
Perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut adalah, bahwa Myrdall tidak
percaya bahwa keseimbangan daerah kaya dan miskin akan tercapai, sedangkan Hirschman
percaya, sekalipun baru akan tercapai dalam jangka panjang.
5.
Strategi Pendekatan
kebutuhan pokok
Sasaran dari strategi ini adalah
menanggulangi kemiskinan secara masal. Strategi ini selanjutnya dikembangkan
oleh Organisasi Perburuhan Sedunia (ILO) pada tahun 1975, dengan
menekankan bahwa kebutuhan pokok manusia tidak mungkin dapat dipenuhi jika
pendapatan masih rendah akibat kemiskinan yang bersumber pada pengangguran.
Oleh karena itu sebaiknya usaha-usaha diarahkan pada penciptaan lapangan kerja,
peningkatan kebutuhan pokok dan sejenisnya.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Pembangunan
Faktor-faktor
yang mempengaruhi strategi pembangunan adalah berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai. Jika yang ingin dicapai adalah tingkat pertumbuhan yang tinggi, maka
faktor yang mempengaruhi digunakannya strategi tersebut adalah tingkat
pertumbuhan ekonomi yang rendah, akumulasi kapital yang rendah, tingkat
pendapatan pada kapital yang rendah, serta masalah ekonomi yang berat ke sektor
tradisional yang kurang berkembang.
Faktor
yang mempengaruhi diberlakukannya strategi pembangunan yang berorientasi pada
penghapusan kemiskinan pada dasarnya dilandasi oleh keinginan berdasarkan norma
tertentu, bahwa kemiskinan harus secepat mungkin diatasi. Sementara itu,
strategi-strategi pembangunan lain ternyata sangan sulit
mempengaruhi/memberikan manfaat secara langsung kepada golongan miskin ini.
Strategi
pembangunan, ternyata justru menimbulkan ketidakmerataan hasil pembangunan.
Ketidakmerataan tersebut tidak hanya antar golongan masyarakat, tetapi juga
antar daerah. Sehingga ada daerah maju dan daerah terbelakang. Ketidakmerataan
antar daerah ini pada dasarnya disebabkan oleh kebijaksanaan penanaman modal
yang cenderung hanya diarahkan ke lokasi tertentu. Biasanya, modal yang
ditanamkan tersebut bersifat padat modal dan outputnya berorientasi ke pasar
Internasionaldan abtar kelompok menengan ke atas di dalam negeri. Selain karena
kebijaksanaan penanaman modal, kesulitan pangan antar daerah juga disababkan
karena potensi daerah yang berbeda-beda.
C. Strategi Pembanguan Ekonomi Indonesia
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan luas wilayah hampir
2 juta km2 dan berpenduduk lebih 206 juta jiwa pada tahun 2000,
memiliki potensi sumberdaya alam baik di laut (marine natural resources)
dan di darat (land natural resources) yang sangat besar. Di laut,
Indonesia memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000
km.Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan
atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan
seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2 Selain itu
.Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan
dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai
dengan 200 mil dari garis pangkal). Di darat, memiliki lahan kehutanan 113 juta
ha, lahan sawah produktif 9,9 juta ha, lahan perkebunan produktif 15,5 juta, 60
cekungan prospektif sumber mineral dan migas.
Kenyataan
bahwa sumberdaya yang berlimpah tersebut tidak merata beradadi seluruh daerah.
Hal yang sama terjadi dengan sebaran sumberdaya manusia yang merupakan “aktor”
pembangunan tersebar juga tidak merata. Implikasi dari ketidak-merataan
keberadaan kedua sumberdaya tersebut adalah belum baiknya tingkat pelayanan
infrastruktur wilayah melayani kebutuhan wilayah dan masyarakat, terutama
daerah-daerah terisolir dan tertinggal.
Untuk
mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya yang berlimpah tetapi tidak merata
tersebut bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan dan menjamin
kesejahteraan umum secara luas (public interest), diperlukan intervensi
kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah yang
tertinggal. Hal ini seiring dengan agenda Kabinet
Gotong
Royong untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar bagi
kehidupan perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan yang didasarkan atas
sumber daya setempat (resource-based development), dimana baik sumberdaya
lautan dan daratan saat ini didorong pemanfaatannya, sebagai salah satu
andalan bagi pemulihan perekonomian nasional. Secara sederhana, pembangunan
ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan perubahan yang lebih baik dari
sebelumnya yang ditandai oleh 3membaiknya faktor-faktor produksi. Faktor-faktor
produksi tersebut adalah kesempatan kerja, investasi, dan teknologi yang
dipergunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, wujud dari membaiknya ekonomi
suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi masyarakat,
investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan oleh suatu
negara. Secara mudah, perekonomian wilayah yang meningkat dapat diindikasikan
dengan meningkatnya pergerakan barang dan masyarakat antar wilayah.
Dalam
konteks tersebut, pembangunan ekonomi merupakan pembangunan yang
a-spasial, yang berarti bahwa pembangunan ekonomi memandang wilayah nasional
tersebut sebagai satu “entity”. Meningkatnya kinerja ekonomi nasional sering
diterjemahkan dengan meningkatnya kinerja ekonomi seluruh wilayah/daerah. Hal
ini memberikan pengertian yang “bias”, karena hanya beberapa
wilayah/daerah yang dapat berkembang seperti nasional dan banyak daerah yang
tidak dapat berlaku seperti wilayah nasional. Wilayah Indonesia terdirid ari 33
propinsi dengan 400an kabupaten/kota yang secara sosial ekonomi dan budaya
sangat beragam. Keberagaman ini memberikan perbedaan dalam karakteristik
faktor-faktor produksi yang dimiliki. Seringkali kebijakan nasional pembangunan
ekonomi yang disepakati sulit mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan pada
semua daerah-daerah yang memiliki karakteristik sangat berbeda. Contoh,
kebijakan nasional untuk industrialisasi, di daerah yang berkarateristik
wilayah kepulauan dan laut diantisipasi dengan pembangunan industri perikanan,
sedangkan daerah yang berkarakteristik darat dikembangkan melalui pembangunan
kawasan industri, serta daerah yang tertinggal merencanakan pembangunan
industri tetapi sulit merealisasikannya akibat rendahnya SDM, SDA, dan
infrastruktur yang dibutuhkan oleh pengembangan Industri. Pendekatan ini
dikenal dengan pembangunan ekonomi wilayah.
Pembangunan
ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas terhadap keunikan karakteristik
wilayah (ruang). Pemahaman terhadap sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi kegiatan usaha dari masing-masing
daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah (termasuk diantara
faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan acuan dasar bagi perumusan
upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan. 7. UU 24/1992 tentang Penataan
Ruang menyebutkan bahwa ruang dipahami sebagai suatu wadah yang meliputi ruang
daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan mahluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya. Dalam konteks ini, sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan/infrastruktur wilayah dan kegiatan usaha merupakan unsur
pembentuk ruang wilayah dan sekaligus unsur bagi pembangunan ekonomi nasional
yang lebih merata dan adil.
Penataan
ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari
itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang.
a. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang
menghasilkan rencana tata ruang wilayah. Disamping sebagai “guidance of future
actions” rencana tata ruang wilayah pada dasarnya merupakan bentuk intervensi
yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan
serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup
serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development
sustainability)
b. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan
wujud operasionaliasirencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu
sendiri, dan
c. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang
terdiri atas mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan
pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan
tujuan penataan ruang wilayahnya.
Selain
merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang
sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk
mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.
TANTANGAN PEMBANGUNAN INDONESIA KE
DEPAN
Tantangan
pembangunan Indonesia ke depan sangat berat dan berbeda dengan yang sebelumnya.
Paling tidak ada 4 (empat) tantangan yang dihadapi Indonesia, yaitu:
a) Otonomi daerah,
b) Pergeseran orientasi pembangunansebagai
negara maritim,
c) Ancaman dan sekaligus peluang globalisasi,
serta
d) Kondisi objektif akibat krisis ekonomi.
Pertama,
Undang-undang No. 22 tahun 1999 secara tegas meletakkan otonomi daerah di
daerah kabupaten/kota. Hal ini berarti telah terjadi penguatan yang nyata dan
legal terhadap kabupaten/kota dalam menetapkan arah dan target pembangunannya
sendiri. Di satu sisi, penguatan ini sangat penting karena secara langsung
permasalahaan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota langsung diupayakan
diselesaikan melalui mekanisme yang ada di kabupaten/kota tersebut. Tetapi, di
sisi lain, otonomi ini justru menciptakan ego daerah yang lebih besar dan
bahkan telah menciptakan konflik antar daerah yang bertetangga dan ancaman
terhadap kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua,
reorientasi pembangunan Indonesia ke depan adalah keunggulan sebagai
negara maritim. Wilayah kelautan dan pesisir beserta sumberdaya alamnya
memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat
diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
Ketiga,
ancaman dan peluang dari globalisasi ekonomi terhadap Indonesia yang terutama
diindikasikan dengan hilangnya batas-batas negara dalam suatu proses ekonomi
global. Proses ekonomi global cenderung melibatkan banyak negara sesuai
dengan keunggulan kompetitifnya seperti sumberdaya manusia, sumberdaya
buatan/infrastruktur, penguasaan teknologi, inovasi proses produksi dan produk,
kebijakan pemerintah, keamanan, ketersediaan modal, jaringan bisnis global,
kemampuan dalam pemasaran dan distribusi global.
Ada
empat manfaat yang dirasakan dari globalisasi ekonomi, yaitu
a) Spesialisasi produk yang didasarkan pada
keunggulan absolut atau komparatif,
b) Potensi pasar yang besar bagi produk masal,
c) Kerjasama pemasaran bagi hasil bumi dan
tambang untuk memperkuat posisi tawar,
d) Adanya pasar bersama 6untuk produk-produk
ekspor yang sama ke pasar Asia Pasifik yang memiliki 70% pasar dunia.
Di sisi lain, globalisasi juga memberikan ancaman terhadap ekonomi
nasional dan daerah berupa membanjirnya produk-produk asing yang menyerbu
pasar-pasar domestik akibat tidak kompetitifnya harga produk lokal.
Terakhir,
kondisi objektif akibat krisis ekonomi (jatuhnya kinerja makro
ekonomi menjadi –13% dan kurs rupiah yang terkontraksi sebesar 5-6 kali lipat)
dan multi dimensi yang dialami Indonesia telah menyebabkan tingginya angka
penduduk miskin menjadi 49,5 juta atau 24,2% dari total penduduk Indonesia pada
tahun 1997/1998 dan mulai membaik pada tahun 1999 menjadi 23,4% atau 47,97 juta
jiwa. Di sisi lain, krisis ekonomi ini menjadi pemacu krisis
multidimensi, seperti krisis sosial, dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah
D. Perencanaan Pembangunan
1.
Manfaat Perencanaan
a)
Standar pelaksanaan dan pengawasan
b)
Pemilihan sebagai alternative terbaik
c)
Penyusunan skala prioritas baik sasarn maupun
kegiatan
d)
Menghemat pemanfaatan sumber daya organisasi
e)
Membantu manajer menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan
f)
Alat memudahkan dalam berkoordinasi dengan pihak terkait
g)
Alat meminimalkan pekerjaan yang tidak pasti
2.
Periode
perencanaan pembangunan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan
konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002),
telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945
tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1)
penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya
otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Mengenai
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam
praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi
landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan
Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika
sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi
adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD
1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah
(UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor
32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen
perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang
globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi
11 September 2001.
Perjalanan
dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah
bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode
yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan
presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS)
menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional
yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia
sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang
Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan
Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi
perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam
bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden
untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita),
proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga
pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat
ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan
kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus
mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak
kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan
inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan
masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan
komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Dokumen perencanaan
periode 1998-2000
Pada periode ini yang
melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia
yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam
proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini
boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat
dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran
lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut
tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
Dokumen perencanaan
periode 2000-2004
Pada sidang umum
tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN
tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama
menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan
tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan
bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap
tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi
acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya
Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis
dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU
nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU
ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan
amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan
pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini
pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan
melibatkan masyarakat.
Intinya
dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan
perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya
mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua
puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima)
tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja
Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1
(satu) tahun.
Lahirnya
UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan
kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah
tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena
sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan
nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat
perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi
pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya
bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme
perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal
dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa
pemerintahan Orde Baru ? Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat
dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan
yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas
formalitas belaka ? Mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam
konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun
daerah ini kedepan.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar