Kamis, 09 Mei 2013

TUGAS 1 - SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA TERHADAP PENGANGGURAN (softskill).

SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA TERHADAP PENGANGGURAN

1.    Abstrak
Pengangguran menjadi masalah yang pasti dialami oleh semua baik itu negara berkembang ataupun negara maju sekalipun. Tidak aka ada habisnya kalu berbicara tentang pengangguran. Penanggulangan pengangguran menjadi upaya yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pengangguran dapat terjadi karena jumlah angkatan kerja yang ada lebih banyak dari pada jumlah kesempatan kerja, ataupn angkatan kerja tidak dapat memenuhi persyaratan yang diminta oleh dunia kerja. Disisi lain peredaran uang yang berlebihan penganggan akan berdampak pula terhadap pengangguran meski tidak langsung terjadi saat itu juga akan tetapi melalui proses yang cukup panjang. Pada saat jumlah peredaran uang melebihi kapasitasnya dalam perjalanannya peningkatan inflasi menjadi masalah selanjutnya yang timbul, untuk meredam laju inflasi pemerintah berusaha melakukan cara yakni dengan meningkatkan suku bunga, kebijakan yang diambil tentu saja akan menimbulkan masalah baru juga yakni tingkat investasi akan semakin menurun, dan menurunnya tingkat investasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya pengangguran.

2.    Pendahuluan

Masalah kependudukan yang serius dihadapi oleh negara berkembang pada umumnya, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" yang lebih tinggi di banding sektor informal. Dengan demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan akan berpotensi  tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan. Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan "pendidikan". Maka merembaknya isu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.

Data UNESCO mengenai peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari tingkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun (tahun 2000). Sedangkan menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan oleh kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi akibat arus globalisasi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Bangsa ini berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain. Indonesia sekarang merasakan ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya.

3.    Landasan Teori

Apakah pendidikan formal merupakan penentu dalam menunjang pertumbuhan ekonomi?. Apakah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan melalui pendidikan formal?. Titik singgung antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi adalah produktivitas kerja, dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Anggapan ini mengacu pada teori Human Capital. Teori Human Capital menerangkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan di dalam meningkatkan produktivitas kerja.

Teori ini merasa yakin bahwa pertumbuhan suatu masyarakat harus dimulai dari prodiktivitas individu. Jika setiap individu memiliki penghasilan yang tinggi karena pendidikannya juga tinggi, pertumbuhan msyarakat dapat ditunjang karenanya. Teori Human Capital ini menganggap bahwa pendidikan formal sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Dari teori ini timbul beberapa model untuk mengukur keberhasilan pendidikan bagi pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan menggunakan teknik cost benefit analysis, model pendidikan tenaga kerja dan lain sebagainya.

Namun dalam kenyataannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh teori Human Capital tidak selalu benar. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Cummings bahwa di Indonesia ternyata menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda antara negara maju dan negara berkembang, yaitu bahwa pendidikan formal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan lulusan pendidikan formal dibandingkan dengan faktor-faktor luar sekolah.

Teori Human Capital dianggap tidak berhasil, maka muncullah teori baru sebagai koreksi terhadap teori sebelumya, yaitu teori kredensialisme. Teori ini mengungkapkan bahwa strukrur masyarakat lebih ampuh dari pada individu dalam mendorong suatu pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan formal hanya dianggap sebagai alat untuk mempertahankan status quo dari para pemenang status sosial yang lebih tinggi.Menurut teori ini perolehan pendidikan formal tidak lebih dari suatu lambang status (misalnya melalui perolehan ”ijazah” bukan karena produktivitas) yang mempengaruhi tingginya penghasilan.
Dua teori yang dikemukan diatas, masing-masing memiliki kaitan erat dengan fungsi sistem pendidikan yang diungkap oleh Sayuti Hasibuan. Menurutnya, fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: 1). Dimensi kuantitatif yang meliputi fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, 2). Dimensi kualitatif yang menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau sebagai driving force (Sayuti Hasibuan, 1987).
Sistem pendidikan sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori Human Capital. Sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil dalam berbagai jenis pekerjaan. Penyediaan tenaga kerja terdidik tidak hanya harus memenuhi kebutuhan akan suatu jumlah yang dibutuhkan. Akan tetapi, yang lebih penting ialah jenis-jenis keahlian dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Teori Human Capital percaya bahwa pendidikan memiliki anggapan lapangan kerja yang membutuhkan kecakapan dan keterampilan tersebut juga sudah tersedia.
Fungsi pendidikan sebagai penghasil tenaga penggerak pembangunan (driving force) cenderung lebih sesuai dengan teori Kredensialisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka cakrawala yang lebih luas bagi tenaga yang dihasilkan, khususnya dalam membuka lapangan kerja baru. Pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga yang mampu mengembangkan potensi masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa termasuk cara-cara memasarkannya. Kemampuan ini amat penting dalam rangka memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Dengan demikian, lulusan sistem pendidikan tidak bergantung hanya kepada lapangan kerja yang telah ada yang pada dasarnya sangat terbatas, akan tetapi mengembangkan kesempatan kerja yang masih potensial.
Teori Kredensialisme merasa yakin bahwa pelatihan kerja merupakan medha yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja. Jika ada masalah ketidaksesuaian, hal ini dianggap sebagai ”gejala persediaan” (supply phenomina), yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan dan lapangan kerja yang diungkapkan sebagai gejala ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang mudah dilatih atau yang dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebttuhan pasar.
Ketidaksesuain tersebut mungkin juga dapat dianggap sebagi gejala prmintaan (demand phenomina), yaitu ketidaksesuaian tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, tetapi lapangan kerja juga belum memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal. Jika ketidaksesiaian anatra keterampilan kerja dengan kebutuhan dunia industri dianggap sebagai demand phenomina, sitem pelatihan kerja juga harus merupakan bagian yang integral di dalam industri atau perusahaan. Dalam hubungan dengan hal tersebut, dunia industri akan berfungsi sebagai training ground. Jika industri atau perusahaan sudah berfungsi sebagai training ground, produktivitas tenaga kerja secara langsung merupakan kontrolnya. Pelatihan dalam industri atau perusahaan ialah tempat yang paling tepat untuk dapat menghasilakn tenaga kerja yang siap pakai (ready trained), sementara sistem pendidikan formal secara maksimal harus mampu menghasilkan tenaga potensial atau yang memiliki kecakapan dasar yang dapat dikembangk`n lebih jauh di dunia kerja.
Sekat-sekat yang ada antara pendidikan, pelatihan dan tenaga kerja seperti yang kita alami dewasa ini, setidak-tidaknya secara konseptual tidak terjadi dalam masyarakat industri modern. Diperlukan program yang terintegrasi antara dunia pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan oleh dunia industri (Tilaar, 1999: 178). Program-program pelatihan tidak hanya dilaksanakan di dalam industri, tetapi sistem pendidikan sekolah dan luar sekolah harus menyelenggarakan program pelatihan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Dalam kaitan ini perlu ada refungsionalisasi SISDIKNAS yang membuka diri terhadap keterlibatan penuh dari masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan sistem yang seperti itu, bukan berarti akan menghilangkan pengangguran, tentu saja masalah pengangguran akan selalu ada karena berbagai sebab ekonomis ataupun non-ekonomis namun masalah pengangguran setidaknya dapat diminimalisir.
Fungsi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dan terlatih dapat diuji berdasarkan kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh lapangan kerja yang telah ada atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu sitem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan perbandingan antara persediaan angkatan kerja yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yanga ada menurut kategori tingkat pendidik`n pekerja.
Terjadinya kelebihan persediaan tenaga kerja berpendidikan dasar ini disebabkan oleh masih banyak tersedianya lapangan kerja pada sektor tradisional dan sektor informal pada saat truktur tenaga kerja telah mulai bergeser ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Keadaan ini didukung pila oleh kenyataan bahwa kelebihan persediaan tenaga kerja terjadi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan yang menjadi akibatnya pengangguran tenaga terdidik atau lulusan Perguruan Tinggi akan terus bertambah setiap tahun. Salah satu sebab kesenjangan supply dan demand pendidikan tinggi ialah kesenjangan antara keinginan mahasiswa (dan dorongan orang tua serta persepsi masyarakat) dengan kebutuhan akan tenaga kerja. Mahasiswa lebih menyenangi program studi profesional seperti ahli hukum dan ekonomi dibanding dengan program teknologi maupun pertanian. Gejala ini terjadi juga di negara industri maju dan sangat kuat di negara berkembang. Sebaliknya kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak ialah di bidang industri dan pertanian.
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan Perguruan Tinggi belum dengan sendirinya meningkatkan produktivitas kerja karena adanya pengangguran sarjana yang semakin meningkat. Data pendidikan nasional kita menunjukkan kecenderungan sebagai berikut: 1). Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kemungkinan terjadinya pengangguran; 2). Pada tingkat pendidikan SLTP kebawah cenderung terdapat kekurangan tenaga kerja terdidik; 3). Tamatan SLTA cenderung untuk menganggur dan jumlahnya semakin besar; 40. surplus lulusan Perguruan Tinggi cenderung berlipat ganda dari tahun ke tahun.
Gambaran mengenai kesenjangan supply dan demand lulusan pendidikan tinggi kita buka terletak pada angka absolutnya, karena sebenarnya kita masih kekurangan tenaga lulusan Perguruan Tinggi. Kekurangan ini masih dipersulit lagi dengan adanya ”mis-match” jenis keahlian yang diproduksi oleh pendidikan tinggi kita.
Menurut Darlaini Nasution SE ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab masih tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Ketiga faktor tersebut adalah, ketidaksesuaian antara hasil yang dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran) dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan masih rend`h. Ia menjelaskan, lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja umumnya tidak sesuai dengan tingkat pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki.

Umumnya perusahaan atau penyedia lapangan kerja membutuhkan tenaga yang siap pakai, artinya sesuai dengan pendidikan dan ketrampilannya, namun dalam kenyataan tidak banyak tenaga kerja yang siap pakai tersebut. Justru yang banyak adalah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan job yang disediakan.

Kalau kita flasback pada tahun-tahun yang lalu, Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak.

Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap hanya sekitar 1,3 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampauai 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996, karena pada tahun 2007 adalah awal mula terjadinya krisis moneter. ketika menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran pada tahun 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik.

Dan kini, pada tahun 2008 ini jumlah pengangguran di Indonesia ditargetkan turun menjadi 8,9 persen dibanding 2007 yang masih 9,7 persen. Untuk mengurangi jumlah pengangguran maupun kemiskinan, pemerintah perlu melakukan berbagai langkah strategis seperti pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung pemberdayaan itu, pemerintah harus memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif. Namun, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengupayakan langkah tersebut, terutama karena keterbatasan dana.

Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2003 jumlah pengangguran intelektual diperkirakan mencapai 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.

Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan.

Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.

Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.

Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing
dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi.

4.    Pembahasan

A.    Pengertian Pengangguran
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak / belum membutuhkan pekerjaan.

B.    Jenis & Macam Pengangguran
1.    Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2.    Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3.    Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukang jualan durian yang menanti musim durian.
4.    Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.

        Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang menganggur untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengangguran yang menganggur karena sudah berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil mendapatkan kerja.

C.    Masalah pengangguran di Negara Indonesia
    Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab, rendahnya taraf hidup di negara - negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara - negara maju.

    Pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara - negara berkembang relatif lebih rendah dari pada yang dilakukan di negara - negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan
pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah  pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10%.


D.    TINGKAT PENGANGGURAN
1.    Tingkat Pengangguran Menurut Umur
    Tingkat pengangguran yang dimaksud disini adalah tingkat pengangguran terbuka atau open unemployment rate. Ukuran ini merupakan salah satu tolak ukur ketenagakerjaan yang banyak digunakan untuk melihat sampai seberapa jauh penawaran tenaga keja, serta bagaimana permintaan akan kesempatan kerja. Diperoleh dengan cara menghitung jumlah absolut angkatan kerja yang menganggur, baik mereka yang baru lulus sekolah dan pertama kali mencari pekerjaan, maupun yang sudah pernah bekerja tetapi sedang mencari kembali pekerjaan, dibagi dengan total angkatan kerja dikalikan seratus. Jika tingkat pengangguran 10 persen, berarti ada 10 orang penganggur dari setiap 100 orang angkatan kerja. Memperlihatkan pola tingkat pengangguran yang sangat umum, yaitu memiliki persentase yang tinggi pada kelompok umur muda (15-19 tahun), kemudian menurun tajam hingga usia 30-34 tahun. Pada umur-umur tua, relatif stabil rendah, untuk kemudian meningkat lagi pada kelompok usia non produktif, karena mungkin masih banyak yang pensiun tapi masih mencari pekerjaan.
2.    Tingkat Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan
    Tingkat pengangguran menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan lebih menarik untuk di bahas. Pada umumnya tingkat pengangguran di pedesaan lebih rendah dari perkotaan, namun pada tingkat SLTP angkanya sedikit lebih tinggi di pedesaan, dan pada klasifikasi SLTA angkanya hampir sama. Kemungkinan penyebab ini adalah banyaknya lulusan SLTP yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke SLTA, tetapi langsung mencari kerja.

    Baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan, tingkat pengangguran yang paling tinggi adalah pada jenjang SLTA. Kondisi ini belum banyak berubah sejak beberapa decade terakhir Hal ini dapat dibuktikan dengan mengkaji ulang.
   
    Beberapa tulisan yang membahas mengenai pengangguran seperti Effendi (1993) yang memakai data SUPAS 1985, pembahasan yang berasal dari data sensus penduduk 1990 serta Sakernas 1996 oleh Tjiptoherijanto dan Soemitro (1998), serta analisis Setiawan (2002) terhadap angkatan kerja dan pengangguran, yang didasarkan pada data ketenagakerjaan hasil Sakernas 2001.

E.    DAMPAK PENGANGGURAN BAGI NEGARA INDONESIA
    Kecenderungan pengangguran terdidik di Negara Indonesia  semakin meningkat namun upaya perluasan kesempatan pendidikan dari pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Pendidikan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar dan cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan pun diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif.

    Selain masalah pendidikan, dampak dari pengangguran juga mengakibatkan tingginya angka inflasi. Hal itu karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen. Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini.

Tentang pendidikan di Indonesia
A.    Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia. Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.

B.    Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

C.    Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
1.    Efektifitas Pendidikan
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain. Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

2.    Efisiensi Pengajaran
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

3.    Standardisasi Pendidikan
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi. Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan kita yaitu:
1)    Rendahnya sarana fisik,
2)    Rendahnya kualitas guru,
3)    Rendahnya kesejahteraan guru,
4)    Rendahnya prestasi siswa,
5)    Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6)    Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
7)    Mahalnya biaya pendidikan

D.    Upaya Solutif Permasalahan Pendidikan Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu: Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Sedangkan solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

5.    Kesimpulan
Kesimpulannya, kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya seperti yang telah disebutkan. Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa. Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional. Mari bersama membangun bangsa, semoga apa yang telah diupayakan membuahkan hasil yang lebih baik bagi generasi penerus bumi pertiwi.

6.    Daftar pustaka
http://sipakataw.blogspot.com/2013/03/makalah-sistem-pendidikan-indonesia.html
http://bekompas.blogspot.com/2011/10/contoh-makalah-berjudul-penyebab.html
http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/contoh-makalah-pendidikan.html
http://alibabaae.wordpress.com/2011/02/15/certificate/

2 komentar:

  1. bagus

    thank ya..
    www.ghofar1.blogspot.com

    BalasHapus
  2. nice post gan, numpang nyampah yaak.

    http://serbah-serbih.blogspot.com/

    visit back kalo gak keberatan, thx :)

    BalasHapus